Judul: Big Bang Itu Mustahil? Mengurai Miskonsepsi dan Menjawab dengan Sains
Isu “ketidakmungkinan” Big Bang kerap muncul dalam perdebatan sains vs. agama. Salah satu kritik yang dilontarkan oleh Ustaz Felix Siau adalah bahwa teori Big Bang mustahil karena bertentangan dengan logika dasar: “Segala yang menempati ruang pasti punya massa, sementara Big Bang dianggap berasal dari titik bermassa tanpa volume.” Namun, apakah klaim ini akurat secara ilmiah? Artikel ini akan mengupas argumen tersebut dan menjelaskan perspektif sains modern tentang Big Bang.
Miskonsepsi tentang “Titik Singularitas”
Ustaz Felix menyatakan bahwa Big Bang mustahil karena tidak mungkin ada massa dalam volume nol. Padahal, sains tidak pernah menyatakan bahwa alam semesta bermula dari “titik fisik” seperti yang dibayangkan. Konsep singularitas dalam teori relativitas umum Einstein merujuk pada batas matematis, bukan objek fisik. Singularitas menunjukkan kegagalan teori fisika klasik dalam menggambarkan kondisi ekstrem seperti awal alam semesta.
Pada momen awal, alam semesta bukanlah “titik kecil” melainkan keadaan di mana energi murni mendominasi. Melalui persamaan E=mc2, energi dapat berubah menjadi massa, dan sebaliknya. Jadi, yang ada sebelum partikel terbentuk adalah energi, bukan massa dalam arti konvensional. Ini menjelaskan mengapa konsep “volume nol” tidak relevan di sini.
Fakta tentang Partikel Tanpa Massa
Klaim “setiap yang menempati ruang pasti punya massa” juga keliru. Dalam fisika, ada partikel seperti foton (cahaya) dan gluon (perekat inti atom) yang tidak memiliki massa tetapi jelas menempati ruang. Faktanya, 99% massa atom berasal dari energi ikatan antarpartikel, bukan massa intrinsiknya. Ini membuktikan bahwa logika sehari-hari tidak selalu berlaku pada skala kuantum atau kosmologis.
Big Bang Bukan Cerita “Asal Jadi”
Teori Big Bang tidak sekadar klaim bahwa alam semesta “ada begitu saja”. Ia dibangun dari bukti empiris yang kuat, seperti:
- Radiasi Latar Belakang Kosmis (CMB): Sisa panas dari ledakan awal yang terdeteksi sebagai gelombang mikro di seluruh langit.
- Ekspansi Alam Semesta: Pengamatan Edwin Hubble menunjukkan galaksi saling menjauh, konsisten dengan prediksi Big Bang.
- Kelimpahan Unsur Ringan: Proporsi hidrogen dan helium di alam semesta cocok dengan simulasi Big Bang.
Ilmuwan tidak berhenti pada Big Bang. Mereka terus mengeksplorasi teori gravitasi kuantum (seperti loop quantum gravity atau string theory) untuk memahami apa yang terjadi sebelum t=0. Model seperti multiverse atau alam semesta siklis juga diajukan, meski belum terbukti.
Waktu dan Keterbatasan Sains
Pertanyaan “Apa yang ada sebelum Big Bang?” mungkin tidak bermakna dalam kerangka relativitas umum, karena waktu itu sendiri tercipta bersamaan dengan alam semesta. Stephen Hawking menyebut, “Sebelum Big Bang, waktu tidak ada.” Namun, dalam model kuantum, waktu bisa jadi bersifat siklis atau abadi. Poin pentingnya adalah: sains mengakui ketidaktahuan dan terus mencari jawaban, tanpa mengisi celah dengan klaim supranatural (God of the gaps).
Agama vs. Sains: Beda Paradigma
Ustaz Felix menuding ilmuwan “pakai teori agama” karena membahas awal alam semesta. Ini keliru. Sains dan agama memiliki domain berbeda:
- Sains: Menjelaskan bagaimana alam semesta bekerja melalui bukti dan model matematis.
- Agama: Menjawab mengapa alam semesta ada, berdasarkan keyakinan transenden.
Klaim “Tuhan menciptakan segalanya” adalah jawaban filosofis/teologis, bukan teori ilmiah. Sains tidak membantah atau membenarkan Tuhan, karena Tuhan (jika ada) berada di luar jangkauan metode empiris.
Pentingnya Literasi Sains
Kritik terhadap Big Bang oleh Ustaz Felix mencerminkan miskonsepsi yang lahir dari kurangnya pemahaman tentang fisika modern. Sebagai masyarakat, kita perlu:
- Membedakan logika sehari-hari dengan fenomena skala kosmik/kuantum.
- Menghargai proses ilmiah: Teori bukan dogma, tapi model yang terus diuji dan disempurnakan.
- Tidak mengacaukan sains dengan keyakinan pribadi.
Big Bang bukan cerita sempurna, tapi ia adalah teori terbaik yang didukung bukti. Alih-alih menolaknya, mari dorong generasi muda untuk mempelajari sains secara kritis, agar Indonesia tak tertinggal dalam menjelajahi misteri semesta.