Dari ‘Malaysia Truly Asia’ ke ‘Kami Harap Kami Singapura’: Lelucon Wisata yang Bikin Geger (7)
Oleh Redaksi Ahsantaweb
Sebagai komedian, Chris tak hanya mengamati kehidupan sehari-hari—ia juga jeli melihat slogan-slogan pariwisata negara-negara Asia dan menjadikannya bahan lawakan yang cerdas sekaligus tajam. Salah satu segmen stand-up-nya yang paling viral adalah saat ia membahas slogan terkenal:
“Malaysia, Truly Asia.”
Chris menyebut bahwa slogan tersebut terasa seperti jawaban penuh iri terhadap slogan Indonesia yang lebih berani dan percaya diri: “Wonderful Indonesia.” Ia membayangkan staf pariwisata Malaysia mendengar slogan Indonesia, lalu bereaksi, “Sial, itu slogan yang bagus!” Akhirnya mereka menciptakan slogan “Malaysia Truly Asia” seolah ingin membuktikan bahwa merekalah Asia yang sesungguhnya—meskipun itu terdengar seperti pembelaan, bukan ajakan.
Tak berhenti di situ, Chris melanjutkan leluconnya dengan gaya sarkasme khas Eropa:
“Kalau dokter bilang ke saya, ‘Saya dokter sejati,’ saya justru curiga. Kalau gadis bilang, ‘Saya wanita sejati,’ saya akan mikir dua kali.”
Tawa pun pecah.
Lelucon Chris mencapai puncaknya ketika ia menyarankan agar Malaysia **mengganti slogannya menjadi:
“Malaysia: Kami Mencuri Semuanya dari Indonesia,”**
menyindir isu budaya bersama seperti rendang, batik, dan tenaga kerja.
Sebagai penutup segmen, Chris menyarankan versi satir yang lain:
“Malaysia: Kami Harap Kami Singapura.”
Sebuah pukulan komedi yang pedas, tapi cerdas.
Apa yang membuat segmen ini begitu kuat bukan hanya karena leluconnya, tapi karena Chris bermain di ruang identitas dan kebanggaan nasional dengan cara yang berani tapi tetap relatable. Ia tahu bahwa audiensnya—mayoritas orang Indonesia—akan tertawa puas. Tapi ia juga sadar bahwa risikonya besar. Chris bahkan mengaku telah menerima ribuan ancaman pembunuhan dari netizen Malaysia akibat lelucon-lelucon ini.
Namun itulah kekuatan humor: ia bisa mengangkat isu sensitif tanpa menggurui, dan mengundang tawa sembari mengajak berpikir. Chris tak sekadar melucu. Ia membedah bagaimana negara-negara memasarkan dirinya sendiri—dan betapa lucunya cara kita melihat diri dan pesaing kita melalui slogan.