Ahsanta Web

Ahsanta WEb

Membangun Masa Depan Digital Anda Bersama Kami

Muka Dua di Dunia Maya: Netizen Indonesia yang Ramah Luring, Garang Daring (5)

Oleh Redaksi Ahsantaweb

Indonesia dikenal sebagai negara yang masyarakatnya hangat, sopan, dan penuh senyum. Namun di balik keramahan luring (offline), tersimpan sisi lain yang kontras tajam: netizen Indonesia adalah salah satu yang paling brutal di dunia maya.

Chris, komedian asal Italia yang tinggal di Bali, melihat fenomena ini dari dekat. “Saya kaget dengan kesopanan orang Indonesia. Terlalu sopan sampai awalnya saya curiga—ini beneran atau palsu?” katanya jujur. Tapi setelah mengenal lebih dalam, ia menyadari bahwa keramahan itu nyata, bagian dari nilai budaya dan pendidikan sosial sejak kecil.

Namun di dunia daring, ceritanya lain. “Begitu mereka online, semua berubah. Netizen Indonesia bisa sangat brutal, bahkan ekstrem,” ungkap Chris. Ia menyebut ini sebagai bentuk ‘Dr. Jekyll and Mr. Hyde digital’, dua sisi kepribadian yang berbeda antara dunia nyata dan maya.

Ia bahkan menyebutkan bahwa Jakarta pernah menjadi kota dengan jumlah tweet tertinggi di dunia. Ini menunjukkan betapa aktif dan vokalnya masyarakat Indonesia di media sosial. “Kalau kamu salah bicara, kamu bisa habis di tangan netizen,” ujarnya. Untungnya, Chris banyak membuat konten yang disukai masyarakat Indonesia—termasuk sindiran lucu tentang Malaysia—sehingga ia justru dianggap ‘kawan’ oleh publik lokal.

Lalu mengapa perbedaan ini bisa terjadi? Chris menduga itu karena budaya ‘menjaga muka’ (face culture) yang kuat di masyarakat. Di dunia nyata, menjaga kesopanan dan kehormatan sangat penting. Tapi di dunia maya—di balik layar ponsel—batasan sosial itu lenyap. Orang merasa aman untuk berkata apa pun tanpa konsekuensi langsung.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi menurut Chris, eskalasinya jauh lebih tinggi di sini. Ia menyamakan perilaku netizen dengan pengendara mobil yang tiba-tiba jadi pemarah di jalan—berani teriak dan mengumpat hanya karena ada lapisan kaca di antara mereka.

“Orang Indonesia sangat menghormati orang tua. Tapi online, mereka bisa maki-maki siapa saja. Itu ekstrem banget,” ujarnya.

Fenomena ini adalah cermin dari konflik budaya antara tradisi dan era digital. Masyarakat yang diajarkan untuk menahan diri dan menjaga harmoni, kini hidup di dunia di mana ekspresi dan emosi bisa disemburkan tanpa filter.

Chris memahami dinamika ini bukan sebagai bentuk kebencian, tapi sebagai tanda bahwa identitas digital Indonesia sedang mencari bentuknya sendiri. Dan sebagai komedian, ia memilih untuk tidak tersinggung—tapi mengolahnya jadi bahan tawa dan refleksi bersama.

https://ahsantaweb.com

Leave a Reply