
Setiap bangsa punya ikon kebanggaan. Jepang dengan sushinya, Italia dengan pastanya, India dengan karinya. Lalu Indonesia? Kita punya satu jawaban yang tak terbantahkan: RENDANG.
Tapi cerita tentang rendang ini tidak bisa dipisahkan dari sosok seorang anak sederhana. Anak kenek oplet. Anak yang sejak kecil terbiasa hidup dalam keterbatasan, namun tumbuh dengan api semangat yang tak pernah padam. Namanya Hargianto—yang kelak dikenal sebagai Laksamana Pertama TNI.
Siapa sangka, dari jalanan berdebu tempat oplet melintas, jejaknya berakhir di panggung dunia. Dan jalannya menuju sana, lewat… rendang.
Rendang: Lebih dari Sekadar Masakan
Mari jujur. Buat urang Minang, rendang itu bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas. Ia adalah rumah. Bahkan buat banyak orang Indonesia, rendang itu adalah cara kita dikenali dunia.
Setiap kunyahan rendang membawa cerita: tentang sabar menunggu santan mengering, tentang bumbu yang harus berpadu sempurna, tentang rasa yang tak bisa terburu-buru. Rendang adalah filosofi hidup.
Dan ketika terdengar kabar negara lain mencoba mengklaim rendang sebagai warisan mereka, darah nasionalisme Hargianto langsung berdesir. Baginya, itu sama saja seperti ada yang hendak mencuri harga diri bangsa.
Dari Padang, Gaungnya Sampai Paris
Jawabannya tidak dengan marah-marah. Tidak dengan debat kusir.
Jawabannya: Festival Marandang Sedunia.
21 Agustus 2021, Padang menjadi dapur raksasa. Lebih dari 2.450 orang dari berbagai penjuru dunia memasak rendang serentak. Dari prajurit TNI, polisi, ibu-ibu PKK, diaspora Minang, hingga duta besar negara sahabat. Semua ikut. Semua larut. Semua bangga.
Bahkan Ibu Negara Iriana Joko Widodo hadir secara virtual untuk membuka acara. Hasilnya? Rekor MURI tercatat: festival memasak rendang terbesar di dunia.
Dari Padang, getarannya menyebar. Di dapur diaspora di Paris, di rumah-rumah sederhana di New York, di apartemen kecil di Tokyo—orang-orang Minang, orang-orang Indonesia, memasak rendang dengan hati yang sama. Dan tiba-tiba, rendang tidak lagi sekadar lauk. Rendang sudah jadi bahasa kebangsaan.
Dan kini, dari gaung inilah lahir langkah berikutnya: Marandang Mendunia to UNESCO.
Sebuah gerakan agar rendang diakui sebagai warisan budaya tak benda dunia. Bukan hanya kebanggaan kuliner, tapi simbol identitas Indonesia di mata internasional.
Laksamana yang Turun ke Dapur
Yang membuat festival ini begitu menyentuh adalah: inisiatornya bukan seorang koki, bukan budayawan, bukan politisi. Tapi seorang Laksamana.
Ya, Laksamana Pertama Hargianto.
Seorang yang biasanya berurusan dengan kapal perang, strategi militer, dan samudera luas.
Namun ia tahu satu hal: membela bangsa tidak harus selalu dengan senjata. Membela bangsa bisa lewat budaya. Lewat dapur. Lewat sepiring rendang.
Inilah keindahan pengabdian. Hargianto menghubungkan kekuatan dengan kelembutan, strategi dengan rasa, militer dengan budaya. Dan pesan yang ia tinggalkan jelas: nasionalisme tidak hanya hidup di medan perang, tapi juga di meja makan.
Rendang: Cinta yang Tak Pernah Padam
Hari ini, lima tahun sudah berlalu sejak Festival Marandang Sedunia pertama kali digelar. Tapi auranya tidak hilang.
Rendang terus hidup di dapur-dapur diaspora, di restoran, di rumah makan Padang, di rumah sederhana, bahkan di meja makan keluarga besar. Setiap orang yang menyantapnya sedang merayakan sesuatu: kelezatan, kebersamaan, dan kebanggaan.
Dan di balik semua itu, berdiri seorang anak kenek oplet yang berjuang, menjadi Laksamana, pemimpin adat bergelar Datuk Bagindo Malano Nan Hitam, lalu mengembalikan rendang ke pangkuan dunia.
Untuk Kita Semua
Kita sering makan rendang, tapi jangan lupa: setiap suapan rendang adalah sejarah. Ada doa ibu-ibu Minang, ada filosofi sabar, ada identitas bangsa.
Jadi jangan pernah biarkan rendang jadi sekadar menu restoran. Anggaplah setiap kali kita memasak dan menyantap rendang, kita sedang menjaga Indonesia.
Karena rendang bukan sekadar makanan.
Rendang adalah cinta yang tak pernah padam.
(oleh redaksi Ahsantaweb)