Ahsanta Web

Ahsanta WEb

Membangun Masa Depan Digital Anda Bersama Kami

Hilirisasi Pertambangan & Jalan Panjang Menuju Kedaulatan Ekonomi

Oleh: Gede Sandra, S.T., M.S.E.

Indonesia berada di persimpangan sejarah ekonomi yang penting. Dengan melimpahnya sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan, negeri ini seharusnya memiliki posisi strategis dalam rantai nilai global. Namun, kenyataannya, selama bertahun-tahun, kita hanya menjadi eksportir bahan mentah—menyumbang sumber daya, tapi kehilangan nilai tambahnya. Inilah yang menjadi salah satu keprihatinan saya dalam wawancara di kanal EdShareon bersama Eddy Wijaya.

Hilirisasi: Mimpi yang Belum Utuh

Hilirisasi pertambangan adalah kebijakan strategis yang sudah lama ditunggu. Sayangnya, implementasi hilirisasi yang berjalan selama ini justru belum cukup memberikan nilai tambah yang signifikan bagi ekonomi nasional. Dari data yang saya pelajari, kerja sama pengolahan nikel dengan Cina, misalnya, hanya memberikan 10% nilai tambah ke Indonesia. Sementara 90% lainnya lari ke luar negeri. Situasi ini harus dibenahi.

Saya berharap di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, hilirisasi tak hanya menjadi jargon, tapi sungguh-sungguh dijalankan dengan pendekatan kedaulatan ekonomi. Artinya, Indonesia harus berani menegosiasikan ulang porsi pembagian keuntungan dalam pengelolaan tambang menjadi setidaknya 50:50. Ini sudah diterapkan di Freeport dan terbukti feasible. Jika diterapkan luas, potensi tambahan pendapatan negara bisa mencapai Rp300 triliun per tahun.

Beban Bunga Utang dan Solusi Non-Konvensional

Satu hal yang kerap luput dari pembicaraan publik adalah besarnya beban bunga utang negara. Saat ini, bunga utang mencapai Rp500 triliun per tahun. Angka ini sangat tidak rasional jika dibandingkan dengan negara lain yang punya rating utang lebih rendah namun bunga lebih kecil.

Saya dan mendiang Bang Rizal Ramli sempat menggagas ide untuk melakukan debt swap dengan negara-negara seperti Jepang yang menawarkan bunga utang jauh lebih rendah. Dengan begitu, beban bunga bisa ditekan, ruang fiskal diperluas, dan anggaran bisa dialokasikan untuk program produktif seperti pembangunan 3 juta rumah rakyat, bukan untuk membayar “gaji” para rentenir global.

Danantara dan Kritik atas Klaim Aset

Program Danantara semestinya bisa menjadi solusi pembiayaan pembangunan. Namun saya mengkritisi logika valuasi aset yang digunakan. Memasukkan aset perbankan sebesar Rp7.000 triliun sebagai “aset produktif” adalah hal yang menyesatkan, karena sebagian besar berasal dari DPK (dana pihak ketiga). Padahal, total dividen BUMN hanya sekitar Rp80 triliun per tahun. Dengan aset sebesar itu, return BUMN sangat rendah—menunjukkan betapa tidak efisiennya pengelolaan kekayaan negara kita.

Program 3 Juta Rumah: Menggerakkan 200 Sektor Ekonomi

Saya mengapresiasi rencana pembangunan 3 juta rumah oleh pemerintah. Gagasan ini bukan hal baru. Pada 2019, saat saya menjadi bagian dari tim ekonomi Bang Rizal untuk Pak Prabowo, kami merancang konsep pembangunan 2 juta rumah per tahun yang dapat menyerap 2 juta tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 2% per tahun. Sektor properti adalah sektor pengungkit yang bisa menarik lebih dari 200 subsektor lainnya.

Tantangannya kini adalah eksekusi. Siapa yang menjalankan? Apakah mereka punya komitmen kerakyatan atau justru tersandera kepentingan para taipan properti?

Kemiskinan dan Ilusi Data

Bank Dunia baru-baru ini menyebutkan bahwa 60% rakyat Indonesia hidup dalam kategori rentan miskin berdasarkan standar global untuk negara berpendapatan menengah. Angka ini sangat kontras dengan data BPS yang menyebut hanya 9%. Masalahnya bukan pada data, tapi pada cara mengukurnya. Kita harus berani mengadopsi pendekatan seperti Vietnam dan Malaysia yang secara sadar menaikkan ambang batas kemiskinan untuk mendorong kebijakan yang lebih adil.

Hilirisasi Berkelanjutan dan Tantangan Lingkungan

Mobil listrik adalah masa depan. Tapi jika bahan baku baterainya (nikel) diproses dengan cara yang mencemari lingkungan karena pembakaran batu bara, maka kita hanya memindahkan polusi dari kota ke daerah tambang. Kita harus mendorong teknologi smelter yang bersih dan berkelanjutan, serta memastikan proses reklamasi pasca-tambang benar-benar dijalankan. Jangan sampai kita hanya mendapat 10% nilai tambah tapi harus menanggung 100% beban lingkungan.

Jalan ke Depan

Kebijakan ekonomi Indonesia saat ini masih terlalu terperangkap pada narasi “pertumbuhan tanpa pemerataan”, “utang tanpa reformasi fiskal”, dan “hilirisasi tanpa nilai tambah nasional”. Jika ingin menjawab tantangan zaman dan tidak terus tertinggal, Indonesia harus:

  1. Menata ulang struktur pembagian hasil tambang menjadi adil.
  2. Menurunkan bunga utang melalui debt restructuring.
  3. Menyusun ulang valuasi aset negara secara realistis.
  4. Menaikkan standar kemiskinan agar kebijakan lebih pro-rakyat.
  5. Menjalankan hilirisasi dengan teknologi bersih dan kontrol nilai tambah.

Pemerintahan Prabowo punya peluang besar untuk mencatatkan sejarah, asalkan berani keluar dari zona nyaman kebijakan lama. Tidak ada transformasi ekonomi tanpa keberanian politik. Tidak ada keadilan ekonomi tanpa perubahan paradigma.

Gede Sandra adalah ekonom dan analis kebijakan publik. Ia belajar langsung dari almarhum Dr. Rizal Ramli dan pernah menjabat sebagai staf khusus Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

 

https://ahsantaweb.com

Leave a Reply