Ahsanta Web

Ahsanta WEb

Membangun Masa Depan Digital Anda Bersama Kami

Kemacetan dan Villa di Sawah: Ketika Pembangunan Bali Menuai Dilema (4)

Oleh Redaksi Ahsantaweb

Bali telah berubah—begitu cepat dan begitu drastis. Chris, seorang komedian asal Italia yang telah menetap di pulau ini selama tujuh tahun, menyaksikan sendiri bagaimana wajah Bali perlahan berubah dari hamparan sawah yang tenang menjadi labirin vila mewah dan kemacetan panjang.

“Dulu saya bisa berkendara dengan tenang di antara pemandangan hijau. Sekarang, bahkan untuk berpindah dari Seminyak ke Canggu di hari Sabtu pagi, saya bisa terjebak satu jam di jalan,” katanya. Anehnya, sebagian orang Indonesia justru bangga dengan kemacetan. Seolah-olah itu menjadi simbol bahwa daerah mereka “maju” dan ramai. “Mereka akan bilang, ‘Lihat ini, jam sibuk!’ seperti itu prestasi nasional,” ujarnya sambil tertawa geli.

Di balik tawa, tersimpan kegelisahan. Villa-villa baru tumbuh seperti jamur, menggantikan sawah dan ruang terbuka. Banyak warga lokal yang mendadak kaya karena menyewakan atau menjual tanah kepada investor asing. Chris memaklumi posisi mereka: “Kalau saya orang Bali dan ada yang menjadikan saya jutawan semalam, susah untuk menolak.”

Namun yang jadi pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab atas arah pembangunan ini?
Menurut Chris, bukan warga lokal yang harus disalahkan, melainkan kebijakan tata ruang dan regulasi yang longgar. Banyak pembangunan memang legal, tapi kurang mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kenyamanan jangka panjang. Ketimpangan pun mulai tampak—antara sisi Bali yang tetap alami dan sisi lain yang sudah menyerupai kawasan urban Eropa atau Australia.

Masalah tak berhenti di vila. Infrastruktur seperti jalan dan transportasi publik belum siap menghadapi lonjakan pengunjung dan ekspatriat. Kini mulai muncul wacana tentang pembangunan kereta atau bahkan kereta bawah tanah. Tapi itu proyek jangka panjang. Saat ini, warga dan pendatang harus hidup berdampingan dengan kemacetan yang semakin menjadi-jadi.

Bagi Chris, ini bukan sekadar soal kenyamanan pribadi. Ini tentang identitas Bali yang perlahan terkikis. Ia prihatin melihat turis asing datang, lalu tidak pernah meninggalkan kawasan “Canggu bubble”—seolah mereka berada di Eropa kecil, bukan di pulau dengan kekayaan budaya dan spiritualitas luar biasa.

“Kalau kamu tinggal di Bali dan tidak pernah keluar dari Canggu, kamu sebenarnya tidak benar-benar mengenal Bali,” tegasnya.

Di balik semua tawa dan kesan eksotis, Bali menghadapi tantangan besar: bagaimana membangun tanpa merusak, bagaimana tumbuh tanpa kehilangan jati diri.

https://ahsantaweb.com

Leave a Reply