Qunut Subuh: Bolehkah Dilakukan Rutin? (Menimbang Dalil Ulama)
Qunut Subuh adalah salah satu masalah fikih yang sering dibahas. Para ulama sebenarnya tidak berselisih tentang Qunut pernah dilakukan Nabi ﷺ, tapi mereka berselisih tentang: Apakah Qunut ini boleh dilakukan rutin setiap hari, atau hanya saat ada bencana besar?.
Perbedaan pendapat ini disebut Ikhtilaf Muktabar, artinya perbedaan yang sah dan dipertimbangkan karena didasari ijtihad para ulama.
1. Apa Itu Qunut?
Secara bahasa, Qunut punya banyak arti, seperti taat, berdiri lama, diam, dan yang paling sering digunakan dalam salat: doa.
2. Qunut saat Bencana (Qunut Nazilah)
Definisi: Qunut yang dilakukan karena ada peristiwa genting yang menimpa umat Islam, biasanya akibat permusuhan atau kezaliman dari non-Muslim.
Hukum: Para ulama sepakat Qunut ini disyariatkan dan boleh dilakukan di semua salat fardhu (Subuh, Zuhur, Asar, Maghrib, Isyak).
Dalil Utama: Hadis Anas bin Malik, yang menyatakan Nabi ﷺ pernah qunut selama sebulan (mendoakan keburukan kaum Arab tertentu) lalu meninggalkannya.
Catatan: Jika bencana berupa alam (gempa, banjir, wabah), Nabi ﷺ mengajarkan untuk melakukan salat khusus seperti Salat Istisqa (minta hujan), bukan Qunut Nazilah.
3. Perbedaan Pendapat tentang Qunut Subuh Rutin
| Pendapat | Siapa yang Menganut? | Argumen Sederhana |
| Disyariatkan Rutin | Mazhab Syafi’i & Maliki | Mereka berpegangan pada riwayat tambahan yang menyebut Nabi ﷺ terus qunut Subuh sampai wafat. |
| Tidak Disyariatkan Rutin | Mazhab Hanafi & Hambali | Mereka berpegangan pada riwayat yang lebih kuat (Bukhari-Muslim) yang menyebut Nabi ﷺ meninggalkan Qunut setelah sebulan. |
Ulama yang menolak Qunut rutin (seperti Asy-Syaukani dan sebagian ulama Hadis) menganggap riwayat tambahan yang menyatakan Nabi rutin qunut Subuh itu lemah (dhaif) dan bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.
Pendapat ini juga didukung oleh kesaksian seorang Sahabat (ayah Sa’ad bin Thariq) yang menyatakan bahwa Qunut Subuh rutin yang ditanyakan itu adalah “hal yang baru” (muhdatun) yang tidak dilakukan oleh Nabi ﷺ dan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali).
4. Sikap Kita sebagai Makmum
Karena ini adalah masalah Ikhtilaf Muktabar, kita harus bersikap bijak:
Tidak Boleh Menyalahkan: Jangan pernah menyebut orang yang qunut sebagai pelaku bid’ah, begitu juga sebaliknya. Masing-masing memiliki dalil ijtihad ulama yang dipegangi.
Ikuti yang Kita Yakin: Kita bebas mengikuti pendapat ulama yang kita yakini paling kuat dan paling sesuai dengan Hadis sahih.
Jika Imam Qunut, Sementara Kita Tidak Meyakininya:
Jangan Membatalkan Salat: Ini adalah kesalahan besar.
Pilihan Terbaik: Kita tetap berdiri tegak bersama Imam. Daripada ikut qunut, lebih baik kita memanjangkan Doa I’tidal yang ada (Rabbana wa lakal hamdu…) sampai Imam selesai qunut dan bersujud.
Dengan begitu, kita tetap mengikuti gerakan Imam (sama-sama berdiri di I’tidal), tetapi kita hanya berbeda pada doa yang dibaca. Ini diperbolehkan dalam Fikih.

